Jumat, 31 Oktober 2014

ASKEP PADA PASIEN SINDROM STEVENS-JOHNSON



ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN
SINDROM STEVENS-JOHNSON





LOGO




Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Mata Kuliah Keperawatan Medikal Bedah III

Di Susun Oleh :
DANIZ FIKHRI
      NIM 2011084

Pembimbing
Ns. NOVA YUSTISIA. S.Kep





POLTEKKES PROVINSI BENGKULU
JURUSAN KEPERAWATAN
2011/2012




KATA PENGANTAR

            Puji syukur penulis panjatkan kehadiran Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kelompok, sehingga kelompok dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini yang merupakan tugas mata kuliah keperawatan medikal bedah III dengan judul “Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan penyakit Sindrom Stevens-Johnson”.
           
Kelompok juga sangat menyadari dalam pembuatan makalah ini masih banyak sekali kekurangan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dari semua pihak akan sangat membantu demi perbaikan dan penyempurnaan makalah ini. Kelompok juga sangat berharap semoga makalah ini bermanfaat dan dapat digunakan sebagai suatu acuan untuk pembuatan makalah berikutnya yang lebih baik.




                             Bengkulu,                     2013


                              Kelompok







DAFTAR ISI

Halaman Judul..................................................................................................................... i
Kata Pengantar.................................................................................................................... ii
Daftar Isi............................................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1.     Latar Belakang.................................................................................................
1.2.     Tujuan Penulisan..............................................................................................
                    1.2.1. Tujuan Umum........................................................................................
        1.2.2. Tujuan Khusus.......................................................................................
1.3 Metoda Penulisan...............................................................................................
BABII TUJUAN TEORITIS
2.1. Konsep Dasar Teori..........................................................................................
2.1.1. Pengertian Sindrom Stevens-Johnson....................................................
2.1.2. Anatomi dan Fisiologi...........................................................................
2.1.3. Etiologi..................................................................................................
2.1.4. Patofisiologi...........................................................................................
2.1.5. Manifestasi Klinis..................................................................................
2.1.6. Pemeriksaan penunjang..........................................................................
2.1.7. Penatalaksanaan.....................................................................................
2.1.8. Komplikasi.............................................................................................
     
             2.2. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan...............................................................
                   2.2.1. Pengkajian..............................................................................................
                   2.2.2. Diagnosa Keperawatan...........................................................................
                   2.2.3. Intervensi................................................................................................
                   2.2.4. Implementasi..........................................................................................
                   2.2.5. Evaluasi..................................................................................................
 
 BAB III. KASUS 
3.1. Pengkajian....................................................................................................................
3.2. Analisa Data.................................................................................................
3.3. Diagnosa Keperawatan.................................................................................
3.4. Intervensi......................................................................................................
3.5 Implementasi..................................................................................................
3.6 Evaluasi..........................................................................................................

BAB IV PENUTUP
4.1. Kesimpulan ...................................................................................................
4.2. Saran..............................................................................................................

Daftar Pustaka
 

BAB I
PENDAHULLUAN

1.1. LATAR BELAKANG
Sindrom Stevens-Johnson, biasanya disingkatkan sebagai SJS, adalah reaksi buruk yang sangat gawat terhadap obat. Efek samping obat ini mempengaruhi kulit, terutama selaput mukosa. Juga ada versi efek samping ini yang lebih buruk, yang disebut sebagai nekrolisis epidermis toksik (toxik epidermal necrolysis/TEN). Ada juga versi yang lebih ringan, disebut sebagai eritema multiforme (EM).
Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat. Sinonimnya antara lain : sindrom de Friessinger-Rendu, eritema eksudativum multiform mayor, eritema poliform bulosa, sindrom muko-kutaneo-okular, dermatostomatitis, dll.
Etiologi SSJ suit ditentukan dengan pasti, karena penyebabnya berbagai faktor, walaupun pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat. Beberapa faktor penyebab timbulnya SSJ diantaranya : infeksi (virus, jamur, bakteri, parasit), obat (salisilat, sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis, kontraseptif), makanan (coklat), fisik (udara dingin, sinar matahari, sinar X), lain-lain (penyakit polagen, keganasan, kehamilan). Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan oleh kompleks soluble dari antigen atau metabolitnya dengan antibodi IgM dan IgG dan reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV) adalah reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang spesifik.
Insiden SSJ dan nekrolisis epidermal toksik (NET) dierkirakan 2-3%per juta populasi setiaptahundi Eropa dan Amerika Serikat. Umumnya terdapat pada dewasa.
Di bagian ini setiap tahun terdapat kira-kira 12 pasien, umumnya pada dewas. Hal tersebut berhubungan dengan kausaSSJ yang biasannya disebabkan oleh alergi obat. Pada dewasa imunitas telah berkembang dan belum menurun seperti pada usia lanjut.
Stevens-Johnson Syndrome (SJS) dan Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) sejak dahulu dianggap sebagai bentuk eritem multiformis yang berat. Baru-baru ini diajukan bahwa eritema multiformis mayor berbeda dari SJS dan TEN pada dasar penentuan kriteria klinis.Konsep yang diajukan tersebut adalah untuk memisahkan spectrum eritem multiformis dari spectrum SJS/TEN. Eritem multiformis, ditandai oleh lesi target yang umum, terjadi pasca infeksi, sering rekuren namun morbiditasnya rendah. Sedangkan SJS/TEN ditandai oleh blister yang luas dan makulopapular, biasanya terjadi karena reaksi yang diinduksi oleh obat dengan angka morbiditas yang tinggi dan prognosisnya buruk. Dalam konsep ini, SJS dan TEN kemungkinan sama-sama merupakan proses yang diinduksi obat yang berbeda dalam derajat keparahannya. Terdapat 3 derajat klasifikasi yang diajukan :
1. Derajat 1 : erosi mukosa SJS dan pelepasan epidermis kurang dari 10%
2. Derajat 2 : lepasnya lapisan epidermis antara 10-30%
3. Derajat 3 : lepasnya lapisan epidermis lebih dari 30%

              Dari jumlah kejadian diatas dan kondisi penyakit yang memerlukan pendeteksian dan penanganan spesifik, penulis tertarik untuk menulis makalah “ Asuhan Keperawatan sindrom steven johnson”.

 1.2. Tujuan Penulisan
1.2.1. Tujuan Umum:
Mahasiswa dapat mengetahui Asuhan keperawatan pada pasien yang mengalami Sindrom Stevens-Johnson.

1.2.2.  Tujuan Khusus:
a. Mahasiswa Mampu menjelaskan konsep teori Sindrom Stevens-Johnson
b.      Mahasiswa Mampu melakukan pengkajian pada pasien dengan penyakit Sindrom Stevens-Johnson
c.       Mahasiswa Mampu merumuskan diagnose keperawatan.
d.      Mahasiswa Mampu membuat rencana tindakan asuhan keperawatan pada pasien Sindrom Stevens-Johnson
e.       Mahasiswa Mampu menerapkan rencana yang akan di susun.
f.       Mahasiswa Mampu menyimpulkan hasil pelaksanaan asuhan keperawatan


1.3 Metode Penulisan
Dalam penyususnan makalah ini menggunakan metode study pustaka, dengan cara mengambil referensi dari beberapa sumber yang ada hubungannya dengan Sindrom Stevens-Johnson.









BAB II
TINJAUAN TEORITIS

2.1.Konsep Teori Penyakit
2.1.1. Pengertian
Sindrom Steven Johnson (SSJ) adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dan ringan sampai berat, kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel atau bula dapat disertai purpura (Djuanda, 2007).
Sindrom Steven Johnson adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir diorifisium, dan mata dengan keadaaan umum bervariasi dengan ringan sampai yanng berat. Kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura. (Muttaqin arif, 2012)
Stevens-Johnson Syndrome  adalah sebuah kondisi mengancam jiwa yang mempengaruhi kulit  di mana kematian sel menyebabkan epidermis terpisah dari dermis. Sindrom ini di perkirakan oleh karena reaksi hipersensitivitas yang mempengaruhi kulit dan membrane mukosa. (NANDA, NIC-NOC)

2.1.2. ANATOMI FISIOLOGI KULIT


 GAMBAR PERMUKAAN KULIT


 Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasi tubuh  dari lingkungan luar, kulit tidak bisa terpisah dari kehidupan manusia yang merupakan organ assensial dan vital, kulit juga merupakan cermin kesehatan dari kehidupan seseorang. Luas kulit orang dewasa 1.5 m2 dengan berat kira-kira 15% berat badan. Kulit juga sangat komplek,  elastis dan sensitif, bervariasi pada keadaaan iklim, umur, seks, ras, dan juga bergantung pada lokasi tubuh.
Warna kulit berbeda-beda, dari kulit yang bewarna terang (fair skin), pirang dan hitam, warna merah muda pada telapak kaki dan tangan bayi,sserta warna hitam kecoklatan pada genetalia orang dewasa.
Kulit secara garis besar tersususn atas 3 lapisan utama yaitu :
1.      Lapisan epidermis (kutikel)
2.      Lapisan dermis (korium, kutis vera, true skin)
3.      Lapisan subkutis (hypodermis)
1.    Lapisan epidermis terdiri dari :
a.    Stratum korneum (lapisan tanduk) adalah lapisan kulit yang paling luar dan terdiri atas sel gepeng yang mati, tidak berinti, dan protoplasmanya berubah menjadi keratin (zat tanduk).
b.    Stratum lusidum terdapat langsung dibawah lapisan korneum, yang merupakan lapisan sel-sel gepeng tanpa inti dengan protoplasma yang berubah menjadi protein yang disebut eleidin. Lapisan ini tampak/nyata pada telapak tangan dan kaki.
c.    Stratum granulosum (lapisan keratohialin) merupakan 2 atau 3 lapisan sel-sel gepeng dengan sitoplasma berbutir kasar serta terdapat inti diantaranya dan terdapat jelas pada telapak tangan dan kaki.
d.   Stratum spinosum (stratum malphigi) disebut juga picle cell layer (lapisan akanta). Sel stratum spinosum mengandung banyak glikogen. Stratum balase terdiri dari sel yang berbentuk kubus (kolumnar) yang tersusun vertical pada pebatasan dermo epidermal seperti pagar (palisade) dan merupakan lapisan epidermis yang paling bawah, sel basal ini mengadakan mitosis yang berfungsi refroduktif.
Lapisan ini terdiri dari dua jenis sel yaitu?
a)      Sel-sel ini  berbentuk kolumnar denagn protoplasma terbentuk inti lonjong dan besar berhubungan satu dengan yang lain oleh jembatan antar sel.
b)      Sel pembentuk melamin (melanosit) atau clear sell merupakan sel bewarna muda, dengan sitiplasma basofilik dan inti gelap yang mengandung butir pigmen (melanosomes).
2.    Lapisan dermis
Lapisan ini tepatnya dibawah epidermis yang jauh lebih tebal dari pada epidermis dan terdiri atas lapisan elastic dan fibrosa padat. Secara garis besar elemen seluler dan folikel rambut dibagi dua yaitu?
a.       Pars papilare adalah bagian yang menonjol ke epidermis yang berisi ujung serabut saraf dan pembuluh darah.
b.      Pars retikulare adalah bagian yang dibawahnya menonjol kearah subkutan terdiri dari serabut-serabut penunjang, misalnya serabut (kolagen, elastin, dan retikulin). Dasar (matriks) lapisan ini terdiri atas cairan kental, asam hialuronat dan kondroitin sulfat yang terdapat pula fibroblast.
Serabut kolagen dibentuk oleh fibroblast, membentuk ikatan (bundel) yang mengandung hidroksiprolin dan hidroksisilin. Kolagen muda bersifat lentur (dengan bertambah umur menjadi kurang larut sehingga stabil). Serabut elastin biasanya bergelombang, berbentuk amorf, mudah mengembang dan lebih elastis.
3.    Lapisan subkutis
Lapisan ini adalah kelanjutan dari dermis dan terdiri dari jariangan ikat longgar berisi sel-sel lemak didalam nya lapisan sel sel lemak disebut panikulus adipose yang berfungsi sebagai cadangan makanan.
Bagian lain yang terdapat pada lapisan subkutis adalah :
a)      Ujung-ujung saraf tepi
b)      Pembuluh darah
c)      Getah bening
    Vaskularisasi dikulit diatur oleh 2 pleksus yaitu :
a)      Pleksus yang terletak dibagian atas dermis (pleksus superficial) dan mengadakan anastomosis di papil dermis
b)      Pleksus yang terletak disubkutis (pleksus profunda) mengadakan anastomosis.
Adneksa kulit
Adneksa kult terdiri dari :
1.Kelenjar – kelenjar
2.Kuku
3.Rambut
1.    Kelenjar kulit terdapat di lapisan Dermis yang terdiri dari :
a.    Kelenjar Keringat (Glandula Sudorifera)
ada dua macam kelenjar keringat yaitu :
1)   Kelenjar Ekrin yang kecil-kecil dan terletak dangkal pada dermis dengan secret yang encer, dan telah terbentuk sempurna pada 28 minggu kehamilan, berfungsi 40minggu setelah kelahiran berbentuk spiral dan bermuara langsung di permukaan kulit, terbanyak di telapak dan kaki.
2)      Kelenjar Apokrin yang lebih besar, terletak lebih dalam dan sekretnya lebih kental, dipengaruhi oleh saraf adrenergic, labio minora dan saluran telinga luar.
3)      Fungsi apokrin pada manusia belum jelas, pada waktu lahir kecil, dan pada pubertas mulai besar dan mengeluarkan secret keringat yang mengandung air, elektrolit, asam laktat dan glukosa, pH sekitar 4-6,8.
b.    Kelenjar palit (grandula sebasea)
Terletak diseluruh permukaan kulit kecuali di telapak kaki dan kaki. Kelenjar palit disebut juga kelenjar holokrin karena tidak berlumen dan secret kelenjar ini berasal dari dekomposisi sel-sel kelenjar.
Kelenjar palit terdapat disampaing akar rambut (folikel rambut). Sebelum mengandung trigleserida, asam lemak bebas, skualen, wax ester, dan kolestrol. Sekresi dipengaruhi oleh hormon hedrogen, dan berfungsi aktif pada usia pubertas.
2.    Kuku
Kuku adalah lapisan terminal lapisan tanduk (stratum korneum) yang menebal.
Bagian-bagian dari kuku adalah :
a.       Nail vood (akar kuku) terbenam dalam kulit.
b.      Badan kuku bagian yang terbuka di atas jaringan lunak kulit
c.       Ujung kuku bagian yang bebas (pertumbuhannya lebih kurang 1 mm/minggu)
d.      Nail grove (sisi kuku) bagian yang agak cekung membentuk alur kuku.
e.       Epinilium (kulit tipis) bagian proksimal yang menutupi kuku
f.       Hiponiklum kulit yang ditutupi bagian kulit.
3.    Rambut
Rambut adalah suatu pertumbuhan yang keluar dari kulit dan terdapat diseluruh tubuh, kecuali pada telapak tangan dan kaki. Bagian yang terbenam dalam kulit disebut akar rambut, bagian yang berada diluar kulit disebut batang rambut. Dua (2) macam tife rambut yaitu :
a.       Rambut lanugo yang merupakan rambut halus tidak mengandung pigmen dan terdapat pada bayi
b.      Rambut terminal yaitu rambut yang lebih kasar dengan banyak pigmen, mempunyai medulla dan terdapat pada orang dewasa.
Fungsi kulit
Fungsi kulit utama yaitu :
a.       Proteksi
b.      Absorbs
c.       Ekskresi
d.      Persepsi
e.       Pengaturan suhu tubuh (termoregulator)
f.       Pembentukan pigmen
g.      Pembentukan vitamin D
h.      Keratinisasi
1.    Fungsi proteksi adalah menjaga bagian dalam tubuh terhadap gangguan fisi atau meknis.
a.       Gangguan fisis missal nya :
- tekanan
- gesekan
- tarikan
      b.  gangguan kimiawi missal nya zat-zat kimia terutama yang bersifat iritan.
           Contohnya : lisol, karbol, asam, dan alkali kuat lainnya.
- gangguan bersifat panas misalnya : radiasi, sengatan sinar ultra violet
- gangguan infeksi luar terutama kuman/bakteri maupun jamur
2.    fungsi absobsi
fungsi absobsi adalah kulit yang sehat dan tidak budah menyerab air, larutan dan benda padat, tetapi cairan yang mudah menguap mudah diserap, begitu pula yang larut dalam lemak. Stratum korneum mampu untuk menyerap air dan mencegah kehilangan air dan mencegah kehilangan air dan elektrolit yang berlebihan dari bagian internal tubuh.

3.    Fungsi eksresi
4.    Fungsi eksresi adalah mengeluarkan zat-zat yang tidak berguna atau sisa metabolisme dalam tubuh berupa NaCL, Urea, asam urat dan ammonia.
5.    Fungsi persepsi
Fungsi persepsi adalah fungsi terhadap ransangan panas yang diperankan oleh badan-ruffini di dermis dan subkutis.
6.    Fungsi pengaturan suhu tubuh (termoregulasi)
Pengaturan suhu tubuh adalah peran kulit untuk mengeluarkan keringat dan mengerutkan otot (kontraksi oto) pembuluh darah kulit.
7.    Fungsi pembentukan pigmen
Fungsi pembentukan pigmen yang terletak dilapisan basal ini bersal dari rigi saraf (melanosif) dan peran untuk menentukan warna kulit, ras maupun individu
8.    Fungsi penbentukan vitamin D
Fungsi penbentukan vitamin D yang dapat mengubah 7 dihidrogsi kolestrol dengan bantuan sinar matahari, kebutuhan vitamin tidak cukup dengan sinar matahari sehingga vitamin D dapat diperlukan dengan pemberian system vitamin D sistemik.
9.    Fungsi keratinisasi
Fungsi keratinisasi yang terdapat pada epidermis dewasa yang mempunyai tiga (3) jenis sel utama yaitu :
1)      Keratinosis dimulai dari sel basah yang mengadakan pembelahan sehingga terjadi perubahan bentuk menjadi sel spinosum makin ke atas sel granulosum
2)      Sel langerhans
3)      Sel melanosit



2.1.3.       ETIOLOGI
Penyeban utama adalah alergi obat, lebih dari 50%.sebagian kecil karena infeksi, vaksinas, penyakit graft-versus-host, neoplasma, dan radiasi.
Pada penelitian adhi djuanda selaama 5 tahun(1998-2002) SSJ yang diduga alergi obat tersering ialah analgetik/antipiretik (45%), disusul karbamazepin (20%), dan jamu (13,3%). Sebagian besar jamu dibubuhi obat. Kausa yang lain amoksisilin, kotrimokssasol, dilantin, klorokuin, seftriakson, dan adiktif.

1.1.4.      PATOFISIOLOGI
Patogenesisnya belum jelas, diperkirakan karena alergi tipe II dan IV. Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang membentuk mikropresitipasi sehingga terjadi aktivitas sistem komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan pada jaringan pada organ sasaran. Reaksi tipe IV terjadi akibat limposit T yang tersensitisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama, kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang.












WOC sindrom Stevens Johnson
Menurut muttaqin dan sari

Reaksi alergi tipe III dan IV
Terbentuknya kompleks antigen antibodi
Aktivasi sistem komponen

Sensitivitas limposit T
Akumulasi neutropil
Peningkatan Respon Radang
Kerusakan jaringan pada organ sasaran
Kerusakan integritas jaringan
Trias gangguan pada kulit, mukosa, dan mata
Respons lokal: eritema, vesikel dan bula
Respons inflamasi
sistemik
Kerusakan sarap perifer
Port de
infeksi
Gangguan gastrointestinal demam Malaise

Kondisi kerusakan jaringan kulit
Nyeri
Risiko tinggi infeksi
 Ketidakseimbangan nutrisi kurang Defisit perawatan diri
Gangguan gambaran diri Kecemasan
Respons
 psikologi
   
Gambar 6.5. Patofiologi sindrom Stevens Johnson pada masalah keperawatan.


2.1.5. TANDA DAN GEJALA
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia kurang dari 3 tahun. Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat soporous sampai koma. Mulainya dari penyakit akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek, dan nyeri tenggorokan.

 Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa : Kelainan kulit, Kelainan selaput lendir di orifisium dan Kelainan mata.

1.     Kelainan Kulit
Kelainan kulit terdiri atas eritema, papul, vesikel, dan bula. Vesikel dan bula kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Disamping itu dapat juga disertai purpura.

2.    Kelainan Selaput lender di orifisium
Kelainan di selaput lendir yang sering ialah pada mukosa mulut (100%), kemudian disusul oleh kelainan di lubang alat genital (50%), sedangkan dilubang hidung dan anus jarang ditemukan (masing-masing 8% dan 4%).
Kelainan berupa vesikal dan bula yang cepat memecah hingga menjadi erosi dan ekskoriasi serta krusta kehitaman. Di mukosa mulut juga dapat terbentuk pescudo membran. Di bibir yang sering tampak adalah krusta berwarna hitam yang tebal. Kelainan di mukosa dapat juga terdapat di faring, traktus respiratorius bagian atas dan esophagus. Stomatitis ini dapat menyeababkan penderita sukar/tidak dapat menelan. Adanya pseudo membran di faring dapat menimbulkan keluhan sukar bernafas.

3.     Kelainan Mata
Kelainan mata, merupakan 80 % diantara semua kasus;  yang tersering ialah konjungtivitis kataralis, selain itu juga dapat berupa konjungtivitis purulen, perdarahan, simblefarop, ulkus kornea, iritis dan iridosiklitis.
            Disamping trias kelainan tersebut dapat pula terdapat kelainan lain, misalnya : nefritis dan onikolosis.


 2.1.6.   PEMERIKSAAN PENUNJANG
A.  Pemeriksaan Laboratorium :
Ø Tidak ada pemeriksaan labor (selain biopsi) yang dapat membantu dokter dalam menegakkan diagnosa.
Ø Pemeriksaan darah lengkap (CBC) dapat menunjukkan kadar sel darah putih yang normal atau leukositosis nonspesifik. Penurunan tajam kadar sel darah putih dapat mengindikasikan kemungkinan infeksi bakterial berat.
Ø Pemeriksaan elektrolit
Ø Kultur darah, urine, dan luka diindikasikan ketika infeksi dicurigai terjadi.
Ø Pemeriksaan bronchoscopy, esophagogastro duodenoscopy (EGD), dan kolonoskopi dapat dilakukan
B.  Imaging Studies
Chest radiography untuk mengindikasikan adanya pneumonitis
C.  Pemeriksaan histopatologi dan imonohistokimia dapat mendukung ditegakkannya diagnosa.


2.1.7.  PENATALAKSANAAN
a.    Kortikosteroid
Bila keadaan umum baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan prednisone 30-40 mg sehari. Namun bila keadaan umumnya buruk dan lesi menyeluruh harus diobati secara tepat dan cepat. Kortikosteroid merupakan tindakan file-saving dan digunakan deksametason intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari. Umumnya masa kritis diatasi dalam beberapa hari. Pasien steven-Johnson berat harus segera dirawat dan diberikan deksametason 6×5 mg intravena. Setelah masa krisis teratasi, keadaan umum membaik, tidak timbul lesi baru, lesi lama mengalami involusi, dosis diturunkan secara cepat, setiap hari diturunkan 5 mg. Setelah dosis mencapai 5 mg sehari, deksametason intravena diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednisone yang diberikan keesokan harinya dengan dosis 20 mg sehari, sehari kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian obat tersebut dihentikan. Lama pengobatan kira-kira 10 hari. Seminggu setelah pemberian kortikosteroid dilakukan pemeriksaan elektrolit (K, Na dan Cl). Bila ada gangguan harus diatasi, misalnya bila terjadi hipokalemia diberikan KCL 3 x 500 mg/hari dan diet rendah garam bila terjadi hipermatremia. Untuk mengatasi efek katabolik dari kortikosteroid diberikan diet tinggi protein/anabolik seperti nandrolok dekanoat dan nanadrolon. Fenilpropionat dosis 25-50 mg untuk dewasa (dosis untuk anak tergantung berat badan).

b.    Antibiotik
Untuk mencegah terjadinya infeksi misalnya bronkopneumonia yang dapat menyebabkan kematian, dapat diberi antibiotic yang jarang menyebabkan alergi, berspektrum luas dan bersifat bakteriosidal misalnya gentamisin dengan dosis 2 x 80 mg.

c.    Infus dan tranfusi darah
Pengaturan keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi penting karena pasien sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi dimulut dan tenggorokan serta kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan infus misalnya glukosa 5 % dan larutan Darrow. Bila terapi tidak memberi perbaikan dalam 2-3 hari, maka dapat diberikan transfusi darah sebanyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut, terutama pada kasus yang disertai purpura yang luas. Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg intravena sehari dan hemostatik.

d.   Topikal :
Terapi topical untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in orabase. Untuk lesi di kulit yang erosif dapat diberikan sufratulle atau krim sulfadiazine perak.


2.1.8. KOMPLIKASI
1.      Bronkopneumonia (16%)
2.      sepsis
3.      kehilangan cairan/darah
4.      gangguan keseimbangan elektrolit
5.      syok
6.      kebutaan gangguan lakrimasi



2.2  KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
2.2.1 Pengkajian
1.      Biodata
a.       Identitas klien meliputi nama, umur : sering terjadi pada anak-anak di bawah 3 tahun, alamat, tanggal masuk rumah sakit, tanggal pengkajian, No register, dan diagnosa medis.
b.      Identitas orang tua yang terdiri dari : Nama Ayah dan Ibu, usia, pendidikan, pekerjaan/sumber penghasilan, agama, dan alamat.
c.       Identitas saudara kandung meliputi nama, usia, jenis kelamin, hubungan dengan klien, dan status kesehatan.

2.      Keluhan utama
Keluhan yang dirasakan saat ini juga, alasan kenapa masuk rumah sakit

3.      Riwayat kesehatan
a.    Riwayat Kesehatan Sekarang
Gejala awal yang muncul pada anak. Bisa demam tinggi, malaise, nyeri, batuk, pilek, Kulit eritema, papul, vesikel, bula yang mudah pecah sehingga terjadi erosi yang luas, sering didapatkan purpura.
b.    Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Riwayat kesehatan masa lalu berkaitan dengan Kemungkinan memakan makanan/minuman yang terkontaminasi, infeksi obat-obatan.
c.    Riwayat kesehatan keluarga
Berkaitan erat dengan penyakit keturunan dalam keluarga, misalnya ada anggota keluarga yang pernah menderita penyakit yang sama.

4.      Pemberian Sistem
a.         Aktivitas
Gejala: kelelahan, malaise, kelemahan, ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas biasanya.
Tanda: kelelahan otot.
Peningkatan kebutuhan tidur, soporous sampai koma.

b.         Sirkulasi
Gejala: palpitasi.
Tanda: takikardi, mur-mur jantung.
Kulit, membran mukosa pucat, ruam di seluruh tubuh
Defisit saraf kranial dan/atau tanda perdarahan cerebral.
c.         Eliminasi
Gejala: nyeri tekan perianal, nyeri.
d.        Integritas ego
Gejala: perasaan tak berdaya/tak ada harapan.
Tanda: depresi, menarik diri, ansietas, takut, marah, mudah terangsang.
Perubahan alam perasaan, kacau.
e.         Makanan/cairan
Gejala: kehilangan nafsu makan, anoreksia, mual.
Perubahan rasa/penyimpangan rasa.
Penurunan berat badan.
f.          Neurosensori
Gejala: kurang/penurunan koordinasi.
Perubahan alam perasaan, kacau, disorientasi, ukuran konsisten.
Pusing, kesemutan parastesi.
Tanda: otot mudah terangsang, aktivitas kejang.
g.         Nyeri/ketidaknyamanan
Gejala: nyeri orbital, sakit kepala, nyeri tulang/sendi, nyeri tekan sternal, kram otot.
Tanda: perilaku berhati-hati/distraksi, gelisah, fokus, pada diri sendiri.
h.         Pernapasan
Gejala: napas pendek dengan kerja minimal.
Tanda: dispnea, takipnea, batuk.
Gemericik, ronki.
Penurunan bayi napas.
 i.           Keamanan
Gejala: riwayat infeksi saat ini/dahulu, jatuh..
Gangguan penglihatan/kerusakan.
Perdarahan spontan tak terkontrol dengan trauma minimal.
Tanda: demam, infeksi.
Kemerahan, purpura, perdarahan retinal, perdarahan gusi, atau epistaksis.
Pembesaran nodus limfe, limpa, atau hati (sehubungan dengan invasi jaringan)
Papil edema dan eksoftalmus.
j.           Seksualitas
Gejala: perubahan libido.
Perubahan aliran menstruasi, menoragia.
Lipopren.
k.         Penyuluhan/pembelajaran
Gejala: riwayat terpajan pada kimiawi, mis : benzene, fenilbutazon, dan kloramfenikol(kadar ionisasi radiasi berlebihan, pengobatan kemoterapi sebelumnya, khususnya agen pengkilat.
Gangguan kromosom, contoh sindrom down atau anemia franconi aplastik


2.2.2. Diagnosis Keperawatan
1.      Kerusakan pada integritas kulit b.d. lesi dan reaksi inflamasi lokal
2.      Ketidakseimbangan nutrisi, kurang dari kebutuhan b.d. intake tidak adekuat respons sekunder dari kerusakan krusta pada mukosa mulut.
3.      Risiko tinggi Infeksi b.d. penurunan imunitas, adanya port de entree pada lesi.
4.      Nyeri b.d kerusakan jaringan lunak, erosi jaringan lunak.
5.      Defisit perawatan diri b.d. kelemahan fisik secara umum.
6.      Gangguan gambaran diri (citra diri) b.d. perubahan struktur kulit, perubahan peran keluarga.
7.      Kecemasan b.d. kondisi penyakit, penurunan kesembuhan.


2.2.3. Intervensi Keperawatan
Tujuan intervensi keperwatan adalah peningkatan integritas jaringan kulit, terpenuhinya intake nutrisi harian, penurunan risiko infeksi, menurunkan stimulus nyeri, mekanisme koping yang efektif, dan penurunan kecemasan. Untuk risiko infeksi dapat disesuaikan dengan masalah yang sama pada pasien NET. Pada gangguan gambaran diri (citra diri), intervensi dapat disesuaikan pada masalah yang sama pada pasien psoariasis. Sementara itu, intervensi defisit perawatan diri dan kecemasan dapat disesuaikan pada masalah yang sama pada pasien pemfigus vulgaris.


Gangguan Integritas  kulit b.d. lesi dan reaksi inflamasi
Tujuan : Dalam  5 x 24 jam integritas kulit membaik secara optimal
Kriteria evaluasi :
-          Pertumbuhan jaringan membaik dan lesi proarisis berkurang.
Kaji kerusakan jaringan kulit yang terjadi pada klien
Menjadi data dasar untuk memberikan informasi intervensi perawatan yang akan digunakan.
Lakukan tindakan peningkatan integritas jaringan
Perawatan lokal kulit merupakan penatalaksanaan keperawatan yang penting. Jika diperlukan berikan kompres hangat, tetapi harus dilaksanakan dengan nhati-hati sekali pada daerah yang erosif atau terkelupas. Lesi oral yang nyeri akan membuat higiene oral dipelihara.
Lakukan oral higiene
Tindakan oral higiene perlu dilakukan untuk menjaga agar mulut selalu bersih. Obat kumur larutan anestesi atau agen gentian violet dapat digunakan dengan sering untuk membersihkan mulut dari debris, menmgurangi rasa nyeri pada daerah ulserasi dan mengendalikan bau mulut yang amis. Rongga mulut harus dicatat, serat dilaporkan. Vaselin (atau salep yang diresepkan dokter) dioleskan pada bibir.







Gambar 6.7 Tindakan oral higiene mengfgunakan gentian violet dapat dilakukan dengan sering untuk membersihkan mulut dari debris dan untuk mmeningkatkan integritas mukosa mulut dan menurunkan risiko infeksi pada rongga mulut.




Gangguan integritas kulit b.d. lesi dan reaksi inflamasi
Intervensi
Rasional
Tingkatan asupan nutrisi
Diet TKTP diperlukan untuk meningkatkan asupan dari kebutuhan pertumbuhan jaringan
Evaluasi kerusakan jaringan dan perkembangan pertumbuhan jaringan
Apabila masih belum mencapai dari kreteria evaluasi 5 x 24 jam, maka perlu dikaji ulang faktor-faktor mmenghambat pertumbuhan dan perbaikan dari lesi
Lakukan intervensi untuk mencegah komplikasi
Perwatan ditempat khusus untuk mencegah infeksi. Monitor dan evaluasi adanya tanda dan gejala komplikasi. Pemantauan yang ketat terhadap tanda-tanda vital dan pencatatan setiap perubahan yang serius pada fungsi respiratorius, rental, atau gastrointestinal dapat mendeteksi dengan cepat dimulainya suatu infeksi.
Tindakan asepsis yang mutlak harus selalu dipertahankan selama pelaksanaan perawatan kulit yang rutin.m encuci tangan dan mengenakan sarung tangan steril ketika melaksanakan prosedur tersebut diperlukan setiap saat.
Ketika keadaannya meliputi bagian tubuh yang luas, pasien harus dirawat dalam sebuah kamar pribadi untuk mencegah kemungkinan infeksi silang dari pasien-pasien lain.
Para pengunjung harus mengenmakan pakaian pelindung dan mencuci tangan mereka sebelum menyentuh pasien. Orang-orang yang menderita penyakit menular tidak boleh mengunjungi pasien sampai mereka sudah tidak lagi berbahaya bagi kesehatan pasien tersebut.
Kolaborasi untuk pemberian kortikosteroid
Kolaborasi pemberian glukokorikoid misalnya metil prednisolon 80 – 120 mg petoral (1,5-2 mg/KgBB/hari)atau pemberian deksametason injeksi (0,15-0,2 mg/ KgBB/hari).
Kolaborasi untuk mpemberian antibiotik
Pemberian antibiotik untuk infeksi dengan catatan menghindari pemberian sulfonamide dan antibiotik yang sering njuga sebagai penyebab SJS misalnya penisilin, cephalosporin. Sebaiknya antibiotik yang ndiberikan bertdfasarkan hasil kultur kulit, mukosa, dan sputum. Dapat dipakai injeksi gentamisin 2 – 3 x 80 mg iv (1-15 mg/KgBB/kali {setiap pemberian})




Ketidakseimbangan nutrisi, kurang dari kebutuhan b.d. intake tidak adekuat efek sekunder dari kerusakan krusta pada mulut
Tujuan dalam waktu 5 x 24 jam setelah dibersihkan asupan nutrisi pasien terpenuhi.
Kriteria evaluasi :
-          Pasien dapat mempertahankan status asupan anutrisi yang adekurat.
-          Pernyataan motivasi kuat untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya.
-          Penurunan berat badan selama 5 x 24 jam tidak melebihi dari 0,5 kg
Intervensi
Rasional
Kaji status nutrisi pasien, turgor kulit, badan dan derajat penurunan berat badan, integritas mukosa oral, kemampuan menelan, serta riwayat mual/muntah.
Memvalidasi dan menetapkan derajat masalah untuk menetapkan pilihan intervensi yang tepat.
Berat badan pasien ditimbang setiap hari (jika perlu gunakan timbangan tempat tidur).
Lesi oral dapat mengakibatkan disfagia sehingga memerlukan pemberian makanan melalui sonde atau terapi nutrisi parenteral total.
Formula enteral atau suplemen enteral yang diprogramkan diberikan melalui sonde sampai pemberian peroral dapat ditoleransi.
Penghitungan jumlah kalori per hari dan pencatatan semua intake, serta output yang akurat sangat penting.



Ketidakseimbangan nutrisi, kurang dari kebutuhan b.d. intake tidak adekuat efek sekunder dari kerusakan krusta pada mulut
Intervensi
Rasional
Evaluasi adanya alergi makanan dan kontraindikasi makanan.
Beberapa pasien mungkin mengalami alergi terhadap beberapa penyakit lain, seperti diabetes melitus, hipertensi, gout, dan lainnya yang memberikan manifestasi terhadap persiapan komposisi makanan yang akan diberikan.
Fasilitas pasien memperoleh diet biasa yang disukai pasien (sesuai indikasi).
Memperhitungkan keinginan individu dapat memperbaiki asupan nutrisi.
Lakukan dan ajarkan perawatan mulut sebelum dan sesudah makan, serta sebelum dan sesudah intervensi / pemeriksaan peroral.
Menurunkan rasa tak enak karena sisa makanan atau bau obat yang dapat merangsang pusat muntah.
Fasilitas pasien memperoleh diet sesuai indikasi dan anjurkan menghindari asupan dari agen iritan.
Asupan minuman mengandung kafein dihindari karena kafein adalah stimulan sistem saraf pusat yang mengikatkan aktivitas lambang dan sekresi pepsin.
Berikan makan dengan perlahan pada lingkungan yang tenang.
Pasien dapat berkonsentrasi pada mekanisme makan tanpa adanya distraksi / gangguan dari luar.
Anjurkan pasien dan keluarga untuk berpartisipasi dalam pemenuhan nutrisi.
Meningkatkan kemandirian dalam pemenuhan asupan nutrisi sesuai dengan tingkat toleransi individu





                                                                                                              

Gamabr 6.8 Pasien dan keluarga diajarkan dalam mpemenuhan asupan nutrisi mandiri. Dengan perlahan asupan nutrisi diberikan sesuai dengan tingkat toleransi.
Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menetapkan komposisi dan jenis diet yang tepat.
Merencanakan diet dengan kandungan nutrisi yang adekuat untuk memenuhi peningkatan kebutuhan energi dan kalori sehubungan dengan status hipermetabolik pasien.



Nyeri b.d. kerusakan jaringan lunak, erosi jaringan lunak
Tujuan : dalam waktu 1 x 24 jam nyeri/hilang atau teradaptasi.
Kriteria evaluasi:
-          Secara subjektif melaporkan nyeri berkurang atau dapat diadaptasi Skala nyeri 0-1 (0-4). Dapat mengindentifikasi aktivitas yang bmeningkatkan atau menurunkan nyeri. Pasien tidak gelisah.
Intervensi
Rasional
Kaji nyeri dengan pendekatan PQRST.
Menjadi parameter dasar untuk mengetahui sejauh mana intervensi yang diperlakukan dan sebagai evaluasi keberhasilan dari intervensi manajemen nyeri keperawatan.


Nyeri b.d. kerusakan jaringan lunak, erosi jaringan lunak
Intervensi
Rasional
Jelaskan dan bantu pasien dengan tindakan pereda nyeri nonformakologi dan noninvasif
Pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan nonfarmakologi lainnya telah menunjukkan keefektifan dalam mengurangi nyeri.
Lakukan manajemen nyeri keperawatan :
·      Atur posisi fisiologi







·      Istirahatkan klien


·      Bila perlu premedikasi sebelum mmelakukan perawatan luka.




·      Manajemen lingkungan : lingkungan tenang dan batasi pengunjung.



·      Ajarkan teknik relaksasi pernapasan dalam

·      Ajarkan teknik distraksi pada saat nyeri.






·      Lakukan manajemen sentuhan.


Posisi fisiologi akan meningkatkan asupan O2 ke jaringan yang mengalami peradangan. Pengaturan posisi idealnya adalah pada arah yang berlawanan dengan letak dari lesi. Bagian tubuh yang mengalami inflamasi lokal dilakukan imobilisasi untuk menurunkan respons peradangan dan meningkatkan kesembuhan.
Istirahat diperlukan selama pase akut. Kondisi ini akan meningkatkan suplai darah pada jaringan yang mengalami peradangan.
Kompres yang basah dan sejuk atau terapi rendaman merupakan tindakan protektif yang dapat mengurangi rasa nyeri. Pasien dengan lesi yang luas dan nyeri harus mendapatkan premedikasi dahulu dengan preparat analgesik sebelum perawatan kulitnya mulai dilakukan.
Lingkungan tenang akan menurunkan stimulus nyeri ekternal dan pembatasan pengunjung akan membantu meningkatkan kondisi O2 ruangan yang akan berkurang apabila banyak pengunjungyang berbeda di ruangan.
Meningkatkan asupan O2 sehingga akan menurunkan nyeri sekunder dari peradangan.

Distraksi (pengalihan perhatian) dapat menurunkan stimulus internal dengan mekanisme peningkatan produksi endorfin dan enkefalin yang dapat memblok reseptor nyeri untuk tidak dikirimkan ke korteks serebri sehingga menurunkan persepsi nyeri.
Manajemen sentuhan pada saat nyeri berupa sentuhan dukungan psikologis dapat membantu menurunkan nyeri.
Manajemen sentuhan pada saat nyeri berupa sentuhan dukungan psikologis dapat membantu menurunkan nyeri. Masase ringan dapat meningkatkan aliran darah dan dengan otomatis membantu suplai darah dan oksigen ke area nyeri dan menurunkan sensai nyeri.
Kolaborasi dengan dokter, pemberian analgetik.
Analgetik memblok lintasan nyeri sehingga nyeri akan berkurang.



2.2.4. Implementasi keperawatan
Implementasi adalah inisiatif dari rencana tindakan mencapai tujuan spesifik. Implementasi dilakukan pada klien dengan sindrom steven jhonson, Tindakan yang dilaksanakan sesuai dengan intervensi yang telah dilakukan sebelumnya. Dalam tindakan ini diperlukan kerja sama antara perawat sebagai pelaksana asuhan keperawatan, tim kesehatan, klien dan kluarga agar asuhan keperawatan yang diberikan bisa berkesinambungan sehingga klien dan keluarga dapat menjadi mandiri.


2.2.5. Evaluasi
Evaluasi adalah bagian terakhir dari proses keperawatan. Evaluasi adalah penilaian dari perubahan keadaan yang dirasakan klien sehubungan dengan pencapaian tujuan atau hasil yang diharapkan. Tahap ini merupakan kunci dari keberhasilan dalam melaksanakan proses keperawatan, dari hasil evalusi ini merupakan kemungkinan yang akan terjadi untuk menentukan asuhan keperawatan selanjutnya. Meskipun evaluasi merupakan tahap terakhir dari proses keperawatan tetapi tidak berhenti sampai disini, jika maslah belum teratasi atau timbul masalah baru maka tindakan perlu dilanjutkan atau dimodifikasi kembali.





BAB IV
PENUTUP

4.1. Kesimpulan
Sistem imunitas atau Pertahanan dalam tubuh manusia yang berfungsi melindungi tubuh manusia dari masuknya infeksi baik itu virus, bakteri, protozoa maupun penyakit. Apabila pertahanan tubuh manusia tidak dapat mengenali antigen yang masuk kedalam tubuh maka akan meyebabkan penyakit sistem imun dan hematologi seperti salah satunya Syndrom Steven Johnson atau yang biasanya disebut dengan penyakit kulit yang sangat parah atau akut berat. Penyakit ini disebabkan oleh adanya reaksi hipersensitivitas terhadap obat, infeksi virus, bakteri, radiasi, makanan dan sebagainya. Apabila mengalami penyakit ini maka akan mengalami tanda dan gejala seperti adanya eritema, vesikel, bula, selaput lendir orifisium, dan kelainan pada mata. Sedangkan penatalaksanaan yang dapat dilakukan adalah dengan tiga (3) cara yaitu dengan penatalaksanaan umum, khusus sistemik dan topikal.
Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat
Sindrom Stevens-Johnson pertama diketahui pada 1922 oleh dua dokter, dr. Stevens dan dr. Johnson, pada dua pasien anak laki-laki. Namun dokter tersebut tidak dapat menentukan penyebabnya.

4.2. Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka penyusun mengambil saran dalam rangka meningkatkan pelayanan asuhan keperawatan. Adapun saran-saran adalah sebagai berikut :
1.      Pasien
Apabila sudah mengetahui dan memahami gejala dari penyakit steven johnson hendaknya segera membawa pasien kerumah sakit agar dapat dilakukan tindakan keperawatan.
 
2.      Perawat
Bagi seorang perawat sebaiknya harus memahami dan mengerti baik secara teoritis maupun praktek tentang penyakit steven johnson agar dapat melakukan tindakan keperawatan.
3.      Rumah Sakit
Bagi rumah sakit hendaknya melengkapi fasilitas rumah sakit sehingga pada penderita steven johnson mendapatkan ruangan dan fasilitas medis yang seharusnya ada sehingga dapat melakukan tindakan keperawatan untuk mengurangi dari gejala dan komplikasi penyakit steven johnson.




 


DAFTAR PUSTAKA

Adhi, Djuanda. 2007. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Fakultas kedokteran universitas Indonesia. Jakarta.

Muttaqin, Arif. 2012. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Integumen. Jakarta. Salemba Medika.

Aplikasi Asuhan Keperwatan Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. 2013. Panduan penyusunan Asuhan Keperawatan Profesional.  

Hetharia, Rospa. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Integumen.